Wednesday, July 28, 2010

Choose A Life Of No Regrets!

Tepukan tangan nyokap di kaki segera membangunkan saya pagi ini. Jam 4 pagi, yup! malam sebelumnya saya memang sudah berjanji akan mengantarkan nyokap berbelanja untuk keperluan warung bakso di pasar Palmerah. Tidak seperti biasanya, entah kenapa pagi ini saya bisa menepati janji tersebut. Sering memang nyokap meminta saya mengantarkan beliau untuk berbelanja di pasar, dan saya pun meng-iya-kan. Tapi karena memang dasar saya susah bangun pagi, apalagi kalau tidak ada bokap (seperti hari ini, beliau sedang dinas di Surabaya), dinginnya udara dan empuknya bantal-guling selalu bisa membuat saya malas untuk beranjak dari tempat tidur.

Dengan kecepatan sedang, saya membonceng nyokap menembus dinginnya pagi yang sempat gerimis. Suasana jalan yang masih sangat sepi, dan deretan toko-toko di sepanjang jalan yang masih pada tutup, membuat saya merasa agak bersalah karena selama ini telah membiarkan beliau berjalan beberapa kilometer dari rumah sampai Pertigaan Rawa Belong, bahkan terkadang hingga ke Kemandoran sambil menunggu angkot yang lewat.

Setelah mengantarkan nyokap, saya langsung kembali ke rumah. Karena beliau bilang butuh waktu lama bagi dirinya untuk berbelanja, dan kasihan adik saya di rumah sendirian tidak ada yang membangunkan dan membuatkannya sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Sampai di rumah, semua pesan nyokap tadi saya jalankan, dan kemudian kembali ke rutunitas pagi saya: duduk di depan tivi sambil internetan nggak jelas ditemani secangkir hangat Indocafe Coffeemix! hehehe.. =P

”Satu per satu orang mulai lulus.. lalu kapan saya menyusul?” Sebuah status di facebook saya lihat milik teman yang kembali mengingatkan saya pada pola pikir yang sama beberapa waktu lalu, bahkan terkadang masih sampai sekarang. Kejadian ketika nyokap dan bokap saya mempertanyakan soal urusan kuliah dan rencana masa depan (baca postingan saya berjudul Metamorph 1 dan 2), mungkin menjadi titik balik dimana pada akhirnya saya berfikir kembali setiap mendapatkan pertanyaan serupa seperti teman saya tersebut: ”Harus ya pertanyaan ini terulang terus menerus, khususnya setiap gue ngeliat teman teman gue yang baru aja lulus?" Bagus memang, buat penambah semangat (pastinya itu) tapi tidak jarang juga justru saya malah terjebak pada situasi yang 'menekan batin' dan membuat saya 'memaksakan' diri sendiri, hingga berujung pada 'over confident' dan kemudian 'stress' khususnya ketika saya 'mentok' mengerjakan skripsi di tengah jalan.

Entahlah, saya merasa saya bukanlah tergolong orang yang ‘pesimistis’. Tidak sedikit teman saya yang menyebut saya seorang ’gambler’, bahkan saking optimistik-nya terkadang pula mereka menganggap saya sebagai ’tukang mimpi’. Salah satu kejadian (walau memang beda kasus) yang membuat saya merasa dan (mungkin) teman-teman saya juga menganggap demikian contohnya Symphonesia.

Symphonesia menjadi salah satu titik awal yang membuat saya semakin yakin dan terus percaya untuk mewujudkan ’mimpi’. Saya ingat sekali, pada saat awal mengajukan konsep, banyak sekali teman-teman, pengurus himpunan, hingga dosen-dosen di jurusan yang tidak yakin kalau acara ini bisa terlaksana. Maklum saja, skalanya memang besar dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pandangan pesimistik hingga ucapan yang cukup sinis seperti “jangankan surplus, untuk bisa balik modal aja salut!” bahkan sempat terlontar dari beberapa teman saya. Tapi, berkat doa dan usaha serta kerja keras dari teman-teman pula, acara ini akhirnya bisa berlangsung dengan sukses baik dari segi pelaksanaan maupun finansial.

Saya meyakini bahwa hidup itu merupakan serangkaian kisah tentang pilihan-pilihan. Pilihan kita terhadap suatu hal, pastinya mengorbankan hal lain yang tidak kita pilih. Berbekal prinsip itulah, kenapa saya menjadi seorang yang optimistik (bahkan terkadang oportunistik). Karena setiap pilihan yang akan saya ambil, pastinya harus didukung dulu oleh perhitungan-perhitungan yang matang sebelumnya, meskipun tidak menutup kemungkinan terkadang hitungan tersebut kurang meyakinkan, dan saya jadi sedikit peragu.

Setiap orang punya jalannya masing masing, bukannya bermaksud menyepelekan atau bagaimana, tapi toh dengan lulus cepat juga tidak menjamin masa depan kita cerah atau langsung dapat pekerjaan kan? Iya, memang akan ada perasaan 'lega' dan sudah 'tidak terbebani' lagi khususnya dari orang tua, lingkungan sekitar dan lain lain. Tapi selama kita tetap berusaha dan memberikan yang terbaik (tanpa harus 'over push' ke diri sendiri), saya yakin jalan menuju sukses tetap akan terbuka lebar, kapan pun waktunya itu.

Optimis itu perlu, semangat apalagi! Tapi jangan sampai kita ‘over confident’ hingga akhirnya ‘over push’ ke diri sendiri, yang ada malah bisa bikin stress dan capek sendiri nantinya. Ada niat, ada rencana dan ada usaha, pasti ada jalan! Keep believe in your dreams and do the best! Saya yakin setiap orang punya jalannya masing masing menuju sukses, it's all about choice! Dan pastikan perhitungan yang matang sebelum menentukan pilihan tersebut, supaya tidak menyesal juga. Seperti kutipan judul blog teman saya yang saya jadikan pula judul postingan ini: Choose a Life of No Regrets!

PS: It's not about 'When?' It's all about 'Why?' SEMANGAT!! =D

Monday, July 26, 2010

Backpackers Berkualitas?

Semalam, saya mendapatkan email dari salah satu milis jalan-jalan yang saya ikuti. Topik emailnya sungguh menarik! Mengukur Traveling: Kualitas dan Kuantitas. Secara garis besar, isi email tersebut membahas tentang pandangan yang membuat saya semakin menyadari, bahwa tujuan seseorang melakukan suatu perjalanan (traveling) memang berbeda-beda, dan sangat dalam maknanya tergantung dari interpretasi masing-masing individu.

Dari sekian banyak balasan yang masuk merespon email tersebut, ada satu yang cukup ’menggelitik’ pemikiran saya. Kalimatnya kurang lebih seperti ini ”Jika banyak cerita menarik dan sangat berguna yang bisa kita sampaikan ke teman ataupun di blog, itulah kualitas. Jika banyak dokumentasi perjalanan yang anda bisa sharing di jejaring sosial itulah kuantitas.”

Saya jadi ingat, sekitar setahun yang lalu, saya sempat dihubungi oleh seorang teman yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar di salah satu universitas di Korea Selatan. Dia meminta izin, buat menunjukan foto-foto perjalanan saya di facebook ke teman-temannya di sana. Sempet binggung juga sih, buat apa? Karena kalau dihitung-hitung, paling juga baru beberapa tempat di Indonesia yang pernah saya kunjungi, jangankan ke luar negeri, naik pesawat pun saya juga belum pernah.

Setelah diberi penjelasan, saya baru mengerti. Ternyata dia mau menunjukkan ini loh Indonesia, karena teman-temannya banyak yang penasaran. Tapi berhubung mereka tertarik dengan tempat-tempat yang cenderung jarang terjamah (maklum bule, suka yang ala ’petualang’ gitu katanya) jadilah foto-foto saya itu dijadikannya sebagai media promosi. Dan 3 bulan kemudian setelah program pertukaran pelajarnya selesai, dia berhasil mengajak 2 orang bule asal Ceko untuk datang ke Indonesia, menyusul sebulan berikutnya seorang bule asal Perancis.

Kejadian serupa juga pernah saya alami ketika teman saya (yang lain) sampai ’nekat’ menyebarkan link album foto-foto saya ke wall facebook teman-temannya asal Turki. Karena saking ’desperate’nya katanya dia meyakinkan teman-temannya tersebut kalau Indonesia memang benar-benar indah dan layak dikunjungi. Mereka keburu ’parno’ duluan melihat berita di televisi soal Indonesia (banyak kerusuhan dan teror bom), syukurlah ternyata usahanya tersebut cukup berhasil dan beberapa temannya itu janji akan datang ke Indonesia.

Sejak saat itu, saya jadi semakin suka dan sering meng-upload foto-foto di facebook setiap habis melakukan suatu perjalanan. Karena jujur, saya bukan tipe orang yang suka menulis (walau sekarang sudah mulai belajar menulis sih, hehe..), saya lebih senang bercerita ketika orang lain bertanya. Biasanya, mereka mulai banyak tanya setelah sebelumnya melihat foto-foto perjalanan yang saya upload tadi. Dan alhamdulillah, karena foto-foto itu pula saya jadi semakin punya banyak teman, bahkan ada beberapa yang akrab, dari awalnya memang hanya sekedar tanya-tanya di facebook. Pesan temen-temen sekarang pun setiap sebelum saya jalan biasanya adalah ”co, jangan lupa oleh-oleh fotonya yah!” hehe.. =D

Bagi saya, foto bisa ’berbicara’ segalanya. Dari foto, orang bisa tahu bahwa ternyata masih banyak loh tempat-tempat lain (khususnya di Indonesia) yang benar-benar indah. Dari foto pula, kata teman-teman, saya sebenarnya juga sudah ikut membantu mempromosikan pariwisata Indonesia. Saya nggak tahu yah, apakah saya termasuk ’tipe backpacker’ yang mementingkan kuantitas? Saya mendapatkan kepuasan dari perjalanan yang sudah saya lakukan, saya juga mendapatkan kepuasan karena foto-foto yang saya ’pamerkan’ ternyata juga bermanfaat. Terlebih, karena dari foto-foto tersebut akhirnya jadi banyak orang yang penasaran, pengen tahu dan kemudian membuktikannya sendiri.

Jadi bagaimana caranya kita mengukur kualitas backpacking seseorang? Saya sangat setuju dengan pernyataan si pengirim email bahwa mempertanyakan kuantitas dan kualitas backpacking seseorang adalah sangat personal. Menariknya, pembahasan ini juga pernah didiskusikan dalam salah satu perkuliahan saya di kampus, setelah sebelumnya ada postingan dari salah satu anggota di milis itu juga yang mempertanyakan tentang “Filosofi Seorang Backpacker”.

Dalam diskusi kuliah tersebut, seorang senior saya bertanya ”bagaimana menjadi seorang backpacker yang mapan?”
Teman saya ada yang menjawab ”bung, sebenernya definisi dari mapan disini apa dulu? apakah mapan dalam segi pengalaman atau materi? kalo materi sih udah jelas ya. haha. kalo mau menjadi backpacker mapan dari segi kualitas? hmm.. jawabannya mungkin dengan jam terbang aja ya, dan juga pelajaran-pelajaran setiap trip itu bisa diambil hikmahnya :D”
”mm..standar kualitas itu sendiri seperti apa bung? sampai bisa dibilang mapan?” tanyanya lagi.
Teman saya jawab “backpacker berkualitas menurut gue sih nggak ada standarnya ya. tiap orang bisa beda-beda. mungkin link ini bisa ngebantu dan ngasih contoh juga, betapa berbedanya backpacker berkualitas menurut orang-orang.” Sambil memberikan 2 buah link discussion board di salah satu group backpacker di facebook, yang pertama judulnya Rule Seorang Backpacker, dan yang kedua Persiapan Sebagai Backpackers Pemula.

Pada akhir diskusi, senior saya itu menyimpulkan (dan saya juga sepakat dengan pernyataannya), bahwa pada akhirnya seseorang yang akan melakukan perjalanan memang ditentukan oleh dirinya sendiri, baik keuangan, waktu, dan kondisinya. Konsep seperti itu kan sudah terjadi dari ada istilah ‘musafir’, ‘pengelana’, yang memuat nilai-nilai tertentu dalam perjalanannya. Jadi, apakah seseorang yang banyak sharing dokumentasi perjalanan di situs jejaring sosial memang backpacker yang hanya mengandalkan kuantitas? Atau kualitas seseorang backpacker memang ditentukan oleh cerita menarik dan sangat berguna yang bisa disampaikan ke teman-teman ataupun ditulis di blog? Entahlah..

Yang pasti bagi saya, mengutip pernyataan kawan saya pada diskusi soal filosofi seorang backpacker tadi “Backpacking is a way from ways of traveling. it has unique conditions, and these conditions are meant to be as it is. to put it simple: if you want to make driving license there will be 2 ways: easy way and hard way. they KNOW the SATISFACTIONS, they KNOW what they RECEIVE and what they MISS IF they CHOOSE either one. Backpacking is the latter. backpackers like us always wants it all: to experience all the details and still have the satisfaction after what we've been through.” -Fajar Ajie Setiawan-

So, Keep Happy Traveling!! =D

PS: diskusi lengkap perkuliahan saya dapat dilihat di group Bandung School dengan judul FMHI: Backpacker’s Philosophy.
Saya minta maaf kalau misalnya ada beberapa pihak yang merasa tersinggung atau keberatan dengan postingan saya ini, tulisan ini hanya sekedar sharing pemikiran saya yang (mungkin karena telalu panjang kali yah? hehe..) sayangnya tidak diposting dalam reply email tersebut, terima kasih.

----------------------------------------
Update (27/7):
ternyata sudah diposting! waduh..
saya jadi nggak enak dan nggak nyangka juga soalnya selain 'kepanjangan', postingan saya di milis tersebut tata bahasanya masih kacau dan belum diedit, hehehe..

tapi terima kasih untuk mba Ambar yang sudah merespon dan membuat diskusi menarik tersebut, sehingga membuka wawasan saya lebih luas, salam ransel! =D

Gorengan Rasa Burger (Basi)!

Pernah makan tahu goreng seharga enam ribu rupiah!? Bukan sekantong loh yah, tapi satu biji harganya enam ribu rupiah!? Heuh..

Kemaren saya mengalami kejadian yang sangat mengesalkan! saat perjalanan pergi menuju Jatinangor untuk pindahan. Ceritanya sekitar jam 9 pagi, bersama nyokap, adik, pembokat dan sopir sewaan yang diminta bokap untuk mengantarkan kami ke kontrakan (karena bokap nggak bisa ikut, lagi pulang kampung), di tengah jalan kami masuk ke salah satu Rest Area di Tol Jakarta-Cikampek untuk membeli sarapan. Sebenernya nyokap udah bawa bekel untuk dimakan selama perjalanan, tapi berhubung saya kurang selera, dan kebetulan pembokat saya juga mabok, jadi sekalian lah mau beli minyak kayu putih dulu sambil istirahat.

Turun dari mobil, saya dan nyokap langsung menuju salah satu toko swalayan. Sebelumnya, saya memang sempat melihat ada penjual gorengan di depan toko tersebut. ”Wah boleh juga nih!” pikir saya, sambil berlalu nemenin nyokap untuk berbelanja dulu.

Selesai membayar, kami pun segera mampir ke tukang gorengan. Tanpa pikir panjang, saya langsung memilah-milih gorengan mana yang mau saya makan. ”Risol sama tahu gorengnya dua, martabak mininya satu yah mbak..” kata saya.
Setelah diambilkan dan dibungkus rapih dalam sebuah kantong plastik, gorengan dikasihkan ke saya.
”Berapa mbak?” tanya saya sambil mengambil bungkusan gorengan.
”Tiga puluh ribu mas!” jawab si mbak penjual dengan tampang yang, BIASA-BIASA SAJA! (What the Fu*k!!??)
”Hah, tiga puluh ribu!? lima biji tiga puluh ribu!?” dalam hati, sambil liat-liatan sama nyokap.
Yah, berhubung saya udah keburu laper, dan melihat antrian panjang orang lain yang juga pengen membeli, jadi nggak enak kalau saya protes dan membatalkan gorengan yang sudah terlanjur saya pilah-pilih tadi (gengsi lah bo! hehe..). Dengan sangat terpaksa, saya pun segera membayar gorengan tersebut dan balik menuju mobil! -_-”

Merasa ’ditipu’, sepanjang jalan menuju mobil saya cuma bisa ngedumel atas tindakan bodoh saya tadi. ”Aduuuh.. Kenapa nggak nanya dulu ya mah! Argh! Sial! Sial banget dah!” keluh saya ke nyokap. ”Hahaha.. Makanya! Udah tau mama bawa bekel! Yaudah dimakan aja, yang penting udah nggak penasaran..” kata nyokap, yang membuat saya merasa semakin bete! -_-”

Sampai di mobil, kami langsung melanjutkan perjalanan. Gorengan yang tadi dibeli, barulah saya makan di tengah jalan, dan ternyata rasanya !@#$%^&*(. Sumpah! Saat itu juga semua yang ada di kebon binatang keluar dari mulut saya! ”Apa apaan nih! Udah angetan! Blah..” sambil melepeh dan membuang semua makanan yang ada di mulut saya. Nyokap cuma bisa ketawa. ”Ah, tau gitu mending beli burger di McD! Sialan!” keluh saya semakin kesal. Yup! dengan harga segitu saya bisa beli 2 buah burger yang pasti lebih kenyang, dengan rasa yang jelas lebih enak! Ah memang dasar sial!! T.T

Moral of the story: Memang 'kepercayaan' itu ada harganya. Gorengan memang murah, tapi tidak menjamin standardnya sama di mana-mana. Besok-besok kalau mau beli makan, dimana pun itu, lebih baik tanya harganya dulu deh! hmm.. =P

Saturday, July 24, 2010

Jakarta Jakarta

”Co, bangun! Anterin bapak ke Stasiun Jatinegara sekarang..” Perintah nyokap seketika membangunkan saya dari tidur pagi ini. Dengan kondisi badan yang masih setengah sadar, karena baru tidur jam 2 tadi malam, saya langsung bergegas mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi.

Hari ini bokap mau pulang kampung, entah karena ada urusan jual beli tanah lagi atau memang ada urusan lain yang mendesak, rencana yang tadinya sempat beliau batalkan akhirnya tetap berjalan. ”Nggak ada waktu lagi..” jawabnya, ketika ditanya nyokap kenapa tida-tiba beliau berubah pikiran. Yup, mulai minggu depan bokap memang ditugaskan kantor untuk ke Surabaya, sedangkan terlalu lama katanya kalau harus menunggu sampai libur lebaran tiba. Setelah berpakaian, dan meneguk segelas Indocafe Coffeemix kesukaan saya, kami pun langsung bergegas menuju Stasiun Jatinegara.

Bokap membawa motor dengan kecepatan sedang, suasana Jakarta juga cukup lenggang, mungkin karena masih terlalu pagi. Meskipun perintahnya ’nganterin’, tetapi setiap naik motor bareng bokap, saya memang selalu menjadi penumpang. Sama halnya ketika saya mengantarkan beliau ke kantor kalau misal besoknya beliau ditugaskan untuk ke luar kota, berangkatnya menjadi penumpang, pulangnya baru membawa motor sendirian kembali ke rumah (seperti yang saya bilang di postingan sebelumnya, bokap selalu berangkat langsung dari kantor kalau mau ke luar kota).

Jakarta di akhir pekan, mungkin itu satu-satunya waktu dimana kota metropolitan ini terbebas dari kemacetan. Melintasi sepanjang Jalan Jendral Gatot Soebroto sampai ke Stasiun Jatinegara, tidak sedikitpun hambatan yang kami dapatkan, meskipun yah terkadang memang tetap masih ada kepadatan kendaraan di sejumlah titik. Entahlah, tapi pagi ini saya merasa begitu mencintai Jakarta. Suasana tenang, udara segar di pagi hari, terasa berbeda dari biasanya yang selalu ramai, macet, bising, panas hingga asap tebal polusi udara yang keluar dari setiap kendaraan bermotor.

Jakarta terasa begitu indah (maap kalau terdengar lebay, hehe..), tapi jujur memang sudah lama sekali saya tidak melihat suasana seperti misalnya, aktivitas orang-orang yang sedang sibuk tawar-menawar harga di pinggir jalan, di sejumlah pasar ’kaget’ yang hanya beroperasi di pagi hari. Atau ketika saya melihat beberapa pemuda hingga orang tua, yang sedang berlari pagi menyusuri jalanan ibu kota sambil menikmati segarnya udara yang ada, sungguh terasa bersahaja sekali.

Sejak kecil, saya memang dibesarkan di Jakarta. Terlahir dengan akte luar kota (baca: Kebumen), banyak orang tidak tahu kalau sebenarnya saya juga lahir di Jakarta. Ceritanya panjang, intinya lagi-lagi karena ’idealisme’ bokap, yang merasa kalau misalnya nanti saya menjadi orang ’besar’ dan sukses, akan ada kebanggaan tersediri karena saya berasal dari daerah, agak konyol yah? hehe.. Yah begitulah, kalau ditanya dimana tepatnya saya dilahirkan? Saya pun masih bisa menunjukan klinik tempat nyokap melahirkan dan sertifikat bidan yang menyatakan kalau saya memang terlahir di Jakarta (penting yah? hehe..).

Sampai di Stasiun Jatinegara, bokap langsung bergegas pamit untuk mengejar kereta yang sebenarnya belum beliau pesan. Bokap memang seperti itu, kalau urusan ’mudik’ sendiri tanpa mengajak keluarga, biasanya beliau suka membeli tiket ’on the spot’. Bahkan pernah sekali bersama saya, kami mengelilingi hampir seluruh kota Jakarta dengan ’busway’ dari stasiun ke stasiun dan terminal ke terminal hanya sekedar untuk mencari tiket pulang kampung, yang ternyata sudah habis ludes terjual karena sedang libur ’long weekend’, untungnya tiket tetap kami dapatkan walau dengan harga dua kali lipat di Terminal Lebak Bulus, capek deh! hehe..

Setelah mengantarkan bokap, saya bergegas pulang ke rumah. Mengikuti petunjuk bokap yang bilang ”Lampu merah depan, belok kanan.. Dari situ kamu tinggal ngikutin jalan aja terus sampe ketemu kantor bapak, inget kan? Jangan lupa, tetep di jalur kiri!” Saya terus membawa motor, hingga tanpa sadar sudah cukup lama juga belum menemukan kantor beliau. Seingat saya, letak kantor bokap bersebrangan dengan daerah Jatinegara. Kantor bokap berada di daerah Kebon Nanas, yang kalau biasanya saya datang dari arah Cawang, letaknya berada di sebelah kanan jalan.

Dengan penuh keyakinan bahwa saya tidak mungkin ’nyasar’, saya terus memacu motor dengan kecepatan sedang. Sampai akhirnya saya menemukan papan plang penunjuk jalan yang menunjukkan kalau saya sedang berada di daerah Pulomas, hampir mendekati Tanjung Priok! Ya Tuhan! Dengan sangat terkejut dan sedikit panik, tanpa pikir panjang saya langsung memutar arah kembali melewati jalan yang sudah saya lalui sebelumnya. ”Loh kok?” seraya dalam hati berbicara kenapa bisa-bisanya saya ’nyasar’? hahaha.. Setelah hampir setengah jam, akhirnya saya temukan juga kantor bokap yang memang dari tadi saya jadikan sebagai patokan, alhamdulillah! =D

Sampai di rumah, saya langsung mencari dan membuka atlas. Kebiasaan saya kalau habis ’backpacking’ atau menyinggahi daerah yang belum saya kenal, saya memang selalu menyempatkan diri mencari tahu jalan mana saja yang baru saya lewati, hehehe.. Mungkin karena waktu sekolah dulu saya sangat menyukai pelajaran Geografi kali yah? sehingga kebiasaan membaca peta tersebut masih terbawa sampai sekarang. Benar saja, setelah saya lihat, ternyata jalur yang saya lewati memang salah! hmm.. Ternyata 4 tahun tinggal di luar kota (baca: Jatinangor) juga sudah cukup membuat saya lupa sama jalanan Jakarta! yah hitung-hitung jalan-jalan sambil keliling Jakarta deh, dinikmati saja! hehehe..

Jakarta oh Jakarta! Dengan segala problematika yang ada, ternyata kota ini masih juga menyimpan pesona yang bisa membuat saya tetap menyukainya. Walau ingat, ”Jangan gantungkan hidup di Jakarta!” hehehe.. Dirgahayu Kota Jakarta! (telat yah? maap deh daripada nggak ngucapin! hehe..)

Wednesday, July 21, 2010

Menghapus Jejakmu

terus melangkah melupakanmu
lelah hati perhatikan sikapmu
jalan pikiranmu buatku ragu
tak mungkin ini tetap bertahan

perlahan mimpi terasa mengganggu
kucoba untuk terus menjauh
perlahan hatiku terbelenggu
kucoba untuk lanjutkan hidup

engkau bukanlah segalaku
bukan tempat tuk hentikan langkahku
usai sudah semua berlalu
biar hujan menghapus jejakmu


by Peter Pan

Monday, July 19, 2010

Mati Satu Tumbuh Seribu!

saya nggak tau yah, banyak orang bilang kalo seorang ibu itu memiliki ’intuisi’ yang kuat terhadap anaknya. seorang ibu bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya meskipun anaknya itu nggak cerita. khususnya masalah-masalah yang menyangkut ’perasaan’, masalah yang terkadang ada kalanya kita sebagai seorang anak ’nggak nyaman’ kalo membicarakannya ke beliau, dan lebih nyaman cerita ke temen atau sahabat. saya yakin bukan cuma saya aja yang pernah merasakan hal seperti itu, mungkin kalian juga? bener nggak? hehe.. =P

oke, lagi-lagi saya mau ’curhat’ disini. jadi, belakangan saya memang lagi ada sedikit ’problem’ with ’something’ that I feel. sesuatu yang bikin saya nggak bisa tidur bahkan sampe nggak bisa konsen ngerjain hal-hal lain, khususnya skripsi. saya nggak mau cerita ’apa’ itu, karena saya yakin kalian pasti bisa nebak sendiri, hehe.. dan jangan tanyakan pula detailnya, karena seperti yang saya bilang sebelumnya, saya nggak begitu nyaman menceritakan ’hal itu’. jangankan ke orang lain deh, ke bokap dan nyokap sendiri saya juga nggak biasa (kalo yang udah baca postingan saya sebelum-sebelumnya pasti ngerti). =D

yah, lagi-lagi pertanyaan ’nggak biasa’ dilontarkan oleh nyokap pagi ini. sebelumnya, saya memang sempet mergokin nyokap lagi ngobrol sama beberapa orang di depan rumah. ada 4 orang, yang jelas saya kenali semua: ibu penjual sayur yang tinggal persis di seberang rumah, dua orang cewek-cowok kakak-beradik tetangga sebelah rumah, dan seorang cewek yang saya tau dia adalah sepupu dari kakak-beradik tetangga sebelah tadi.

saat itu saya sedang di ruang tamu, internetan nggak jelas sambil nonton tivi (rutinitas yang biasa saya lakukan pagi hari kalo lagi di rumah). tiba-tiba saya dengar suara dari luar, sambil sedikit mengintip dari jendela, saya lihat ternyata nyokap lagi ngobrol dengan 3 orang sepantaran saya yang sedang naik diatas satu motor, cowok di depan, dan 2 cewek di belakang, *lucu juga sih ngeliatnya, impit-impitan gitu* hehehe.. saya tau, waktu itu nyokap lagi beli sayur, dan ketiga kakak-beradik sepupuan itu mau berangkat ke kantor. dan percakapan singkat yang terjadi di antara mereka kurang lebih seperti ini:

nyokap ”berangkat nov?” (sebut saja namanya novi) bertanya ke cewek, kakak tetangga sebelah.
novi ”iya nih bude..” (mereka memang biasa manggil nyokap bude)
nyokap ”eh ada ekaaa.. nginep? dari kapan?” bertanya ke cewek, sepupu tetangga sebelah.
eka (sebut saja namanya gitu) ”dari kemaren..”
nyokap ”oooh.. koq nggak pernah keliatan? gimana sekolahnya? kamu udah lulus belom sih? apa masih SMA?”
eka ”hehe.. udah bude, tapi belom kuliah..”
nyokap ”lah, koq belom kuliah?”
tiba-tiba ibu tukang sayur nyeletuk ”mau langsung dinikain kali tuh, nunggu dilamar ya ka? hahaha..”
dan novi pun ikut nyeletuk ”iya, sama mas ricco ya bude yaaa?”
eka *dengan salah tingkah* ”ih, apaan sih loe nov..”
nyokap *sambil senyam-senyum* ”laaah, mas ricco kan belom kerja, lulus kuliah juga belom..”

dan saat itu saya cuma bisa cengar-cengir sendiri di balik jendela. percakapan selesai, mereka berangkat, dan nyokap pun masuk ke rumah.

jujur, sejak pertama ketemu, saya memang sempet ’flirting’ sama eka, hehe.. pernah minta tolong adek perempuan saya (yang masih kelas 5 SD! *emang dasar gila*) buat ngedeketin novi sambil nyari tau tentang eka. nyokap pun sempet curiga, dan sepengetahuan adek saya plus ’sindiran-sindiran’ nyokap ke saya kalo eka lagi maen ke sebelah, kayaknya dia juga ada rasa sama saya (aduh, pede abis deh gue! =P LOL). novi pun kayaknya juga sering ’ngecengin’ eka, entahlah. tapi kayaknya dia sih nggak tau soal gimananya saya ke eka, hehehehe..

kami pertama kali ketemu waktu nyokap tetangga sebelah meninggal, sekitar lebaran tahun yang lalu. waktu itu pas saya memang lagi pulang ke Jakarta (dan masih sering di Jatinangor). eka mengantarkan bingkisan ’berkat’ ke rumah, dan di rumah cuma ada saya. saat buka pintu, saya inget sekali, cuma ada percakapan singkat ”oh, iya, terima kasih..” dari saya, dan situasi ’kecanggungan’ diantara kami berdua. selepasnya? kami jarang bertemu (karena saya lebih sering di Jatinangor) dan dia pun (saya kurang tau) apakah juga jarang main ke sebelah. tapi yang pasti, sejak saat itu saya jadi agak ’penasaran’. dan setiap saya pulang, saya memang selalu ’iseng-iseng’ tanya gimana kabar perkembangan ’tugas’ yang saya berikan ke adik saya, huahahaha.. *ngarep abis!* =P

balik lagi soal pertanyaan ’nggak biasa’ dari nyokap. saat masuk rumah, nyokap tiba-tiba langsung menghampiri saya (yang saat itu langsung balik lagi internetan & berlaga pura-pura nggak tau, hehehe..). tanpa ditanya, nyokap pun cerita aja gitu panjang lebar soal obrolan tadi (maap ya mah, padahal ricco udah tau), hehe.. =P dan diujung ceritanya nyokap bertanya ”co, selama ini sebenernya kamu udah pernah punya pacar belom sih?” -_-” *krik.. krik.. krik..* gubrak!! huahahaha..

baiklah, harus saya akui selama ini (seperti yang saya bilang di postingan sebelum-sebelumnya) saya memang jarang cerita panjang lebar soal urusan ’percintaan’, baik ke nyokap ataupun ke bokap. soal saya punya pacar pun, selama ini saya memang nggak pernah bilang dan memang nggak mau bilang. bagi saya ’amanat’ untuk sekolah dulu yang bener, dan baru pacaran (apalagi menikah) kalo udah punya penghasilan sendiri memang selalu saya pegang baik-baik. makanya (maap, bukannya bermaksud sebagai alesan) hubungan saya dengan ’pacar-pacar’ saya sebelumnya nggak pernah bisa berlangsung lama, disamping memang pastinya ada alasan-alasan lain selain hal itu.

setelah pertanyaan dan ’pengakuan’ panjang lebar dari saya ke nyokap, seperti biasa, ’nasehat’ untuk ’sekolah dulu yang bener’ kembaaaaali keluar, hehe.. it’s fine, saya ngerti dan nggak mempermasalahkan itu. bahkan saya juga meyakinkan beliau untuk percaya sama saya. yah paling tidak, dari pembicaraan kami itu saya jadi tau. sebenernya ada sedikit ’keinginan’ dari nyokap supaya saya punya pacar, punya seseorang yang bisa saya kenalin dan nemenin beliau kalo mungkin mau masak atau belanja bareng. dan sedikit terbersit pula semacam ’persetujuan’ kalo nyokap kayaknya nggak mempermasalahkan gimana kalo saya sama eka, hehehe.. *pede abis!* =P

bagi saya, kejadian pagi ini setidaknya sedikit ’mencerahkan’ wajah dan hati saya yang memang lagi ’galau’. *haiyah!* semoga aja, ini menjadi petanda dan awal yang bagus bagi kisah ’percintaan’ saya ke depannya, *duh ileee..* amieeen! serta merupakan ’pilihan yang tepat’ meskipun memang tetep harus diperjuangkan! ada pepatah bilang ’mati satu tumbuh seribu!’ kata d’masip "jangan menyeraaah.. jangan menyerah!" let’s it flow aja! hehehe.. =P

Sunday, July 18, 2010

Coward

maybe I'm a coward, I'm only scared of you
or maybe I'm just tired of living here
I'm alive and I'm aware
of what's going on around here

cause I'm a coward, I'm neurotic
I'm just tired of living in here
I'm depressive, I'm obsessive
I'm just tired of living in fear

maybe my depression is all in my head
maybe my obsession to feel sorry for myself
I'm alive and I'm aware
of what's going on around here

maybe I'm a coward, I'm only scared of you
yes I'm scared of you
cause I'm alive and I'm aware
of what's going on around here

I'm a coward..

by Holly Mcnarland

Saturday, July 17, 2010

A Reason For Life Lessons

"not needed a reason to make a journey, all the stories are always about the journey not the destination.."
"traveler who succeed are those who get life lessons from every trip they ever made.."


Posted Friday, July 2, 2010 10:07 am by R. Heru Hendarto
at milis Indobackpacker

Dear Temans,
Frekuensi travelling, seberapa seringnya itu, apakah dua minggu sekali, sebulan sekali atau setahun dua kali seharusnya membawa efek baik bagi kita dalam hal-hal lain, terutama pekerjaan. Nilai-nilai kebaikan yang didapat seperti: menghargai uang, menghargai orang dan perbedaan pendapat, menghargai waktu dan keindahan alam harusnya dapat diaplikasikan (secara sadar atau tidak sadar) saat kita bekerja, sehingga membangun hal-hal positif dan memberi kontribusi terhadap perjalanan dan karir. Well, benarkah?

Saya kira tidak segampang dan segamblang begitu efeknya. Saya sudah berkali-kali travelling-backpacking di weekend (berangkat Jumat malam, kembali Minggu malam), dan saya rasa pengalaman yang saya dapat kurang cukup kuat untuk mengubah saya dan cara menghadapi pekerjaan yang sudah bertahun-tahun dijalani dengan pola yang sama. Okay, efek yang langsung terasa adalah saya jadi sering didaulat jadi tukang foto acara kantor :) atau teman-teman sering kagum ama cerita keindahan lokasi yang sebenarnya dekat sekali dari Jakarta tapi tak pernah mereka sentuh. Terus apakah tiba-tiba sering travelling di weekend dapat mengubah saya menjadi sedikit bijak, menghadapi masalah di pekerjaan secara komprehensif dan tepo seliro? Tidak, sama sekali tidak, karena yang saya dapatkan untuk week end travelling hanya 'capek-capek seneng' plus sedikit bangkrut, hehehe..

Jadi, modal dua hari travelling bagi saya tidak cukup lama untuk membuat saya berubah. Durasinya terlalu pendek dan faktor 'experiencing' di dalamnya terlalu dangkal. Yah, kan dua hari trip itu isinya fun dan fun saja. Transportasi tersedia banyak, akomodasi bejibun-apalagi dah booking sebelumnya, duit penuh di kantong, kalo pun keabisan duit masih bisa nodong teman atau lari ke ATM. Sinyal hape full, bisa update FB, chatting, tilpan tilpun sana sini.., so, positive experience yang di dapat apa? Paling sial ketemu calo, atau dikadalin supir angkutan minta nambah ongkos, atau malah kesal gara2 nunggu supir yang telat (dan teman yang telat-nah lho, sapa bilang banyak travelling jadi membuat orang menghargai waktu?).

Saya pribadi, banyak memperoleh hal-hal positif dan saya aplikasikan di tempat kerja di saat melakukan travelling (baik pribadi atau tugas kantor ke daerah) dalam jangka waktu panjang (lets say minimal seminggu). Tertahan di suatu kota kecil karena ferry yang akan dinaiki tertunda 3 hari, karena naik dok mendadak, atau ombak yang terlalu besar sehingga terpaksa menaiki ketinting berjam-jam lamanya basah kuyup dihajar ombak laut dan hujan akan membuat kita lebih menghargai waktu, alam dan profesi si tukang ketinting. Terpaksa kembali lagi ke kota terdekat, padahal harus menempuh perjalanan buruk semalaman lamanya darat dan laut karena di kota tujuan kita tidak ada ATM, sehingga harus menyediakan stok cash banyak membuat kita lebih menghormati nilai uang, dan menuntut saya untuk membuat itinerary berdasar informasi yang matang.

Travelling bersama teman, di lokasi yang berat, kehujanan bersama, kehabisan logistik bersama, sampai jatuh sakit parah bersama membuat saya lebih menghargai teman dan peranan seorang teman dalam kehidupan dan pekerjaan. Ditempeli parang di dada dan dikepung ratusan orang bersenjata berteriak garang penuh emosi, memaksa saya untuk selalu melihat masalah dari dua sisi, sisi saya dan mereka.

Positive experience juga saya rasa besar efeknya dialami oleh orang2 yang tinggal di luar negeri dalam waktu lama. Berhadapan dengan kultur yang berbeda, tipikal warga yang berbeda, kondisi alam yang sama sekali lain dalam waktu tahunan pastilah akan signifikan mengubah pribadi orang tersebut. Lah, saya tidak bisa membayangkan jika harus setiap hari berbicara bahasa Inggris, wong bicara 3 jam aja lidah udah rasanya pahit, blah, hehehe.. Itu baru kendala bahasa, belum kendala lain yang lebih nyata yang mau tidak mau harus dihadapi di negeri orang.

Bagaimana dengan pengalaman rekan-rekan, rasa-rasanya cukupkah trip dua tiga hari memberi suatu efek positif yang luar biasa bagi diri kita masing2 dan bisa diaplikasikan ke tempat kerja atau ke kehidupan sebenarnya?

Salam,
RHH

Note: Paparan di atas ini hanya ditarik oleh pengalaman pribadi tanpa didukung data ilmiah. Penarikan kesimpulan juga subyektif dari diri sendiri tanpa ada campur tangan ilmu psikologi di situ.

Antara Suka, Sayang Atau Cinta?

saat kau menyukai seseorang, kau ingin memilikinya untuk keegoisanmu sendiri..
saat kau menyayangi seseorang, kau ingin sekali membuatnya bahagia dan bukan untuk dirimu sendiri..
saat kau mencintai seseorang, kau akan melakukan apapun untuk kebahagiaannya walaupun kau harus mengorbankan jiwamu sendiri..

saat kau menyukai seseorang dan berada disisinya, maka kau akan bertanya "bolehkah aku menciummu?"
saat kau menyayangi seseorang dan berada disisinya, maka kau akan bertanya "bolehkah aku memelukmu?"
saat kau mencintai seseorang dan berada disisinya, maka kau akan menggenggam erat tangannya..

suka adalah saat dia menangis, kau akan berkata "sudahlah, jangan menangis.."
sayang adalah saat dia menangis dan kau akan menangis bersamanya..
cinta adalah saat dia menangis dan kau akan membiarkannya menangis di pundakmu sambil berkata "mari kita selesaikan masalah ini bersama sama.."

suka adalah saat kau melihatnya, kau akan berkata "dia sangat cantik/ tampan dan menawan.."
sayang adalah saat kau melihatnya, kau akan melihatnya dari hatimu dan bukan matamu..
cinta adalah saat kau melihatnya, kau akan berkata "buatku, dia adalah anugerah terindah yang pernah tuhan berikan kepadaku.."

pada saat orang yang kau sukai menyakitimu, maka kau akan marah dan tidak mau lagi berbicara kepadanya..
pada saat orang yang kau sayangi menyakitimu, engkau akan menangis untuknya..
pada saat orang yang kau cintai menyakitimu, kau akan berkata "tidak apa, dia hanya tidak tahu apa yang dia lakukan.."

pada saat kau suka padanya, kau akan memaksanya untuk menyukaimu..
pada saat kau sayang padanya, kau akan membiarkannya untuk memilih..
pada saat kau cinta padanya, kau akan selalu menantinya dengan setia dan tulus..

suka adalah kau akan menemaninya bila itu menguntungkan..
sayang adalah kau akan menemaninya di saat dia membutuhkan..
cinta adalah kau akan menemaninya tak perduli bagaimana pun keadaannya..

suka adalah hal yang menuntut..
sayang adalah hal memberi dan menerima..
cinta adalah hal yang memberi dengan suka rela..

Friday, July 16, 2010

Bule Rakitan Vs Bule Beneran

jadi begini ceritanya, kamis seminggu yang lalu. Saya, Tiwi, Mayang dan Gama pergi ke Garut. berawal dari obrolan iseng-iseng sekedar pengen berenang, rencana tersebut akhirnya sedikit kami rubah jadi berendam air panas di pemandian Cipanas, Garut. awalnya ada sekitar 10 orang yang mau ikut, tapi satu persatu pada ’berguguran’ hingga tinggal tersisa kami berempat.

sekitar jam setengah 3 sore, kami langsung berangkat menuju Garut. perjalanan ditempuh selama kurang lebih satu setengah jam, dengan bus Primajasa yang kami naiki dari Perempatan Gerbang Tol Cileunyi. sesampainya di Garut, disambut dengan dinginnya sore yang sedang hujan, kami segera bergegas menuju ke Waterbom Sabda Alam. niat hati pengen langsung berenang, tapi begitu sampai di depan loket masuk, kami pun hanya bisa bengong.

Tiwi *sambil nunjuk* ”cooo, ini kolam renangnyaaa??”

tanpa perlu menjawab, saya cuma bisa nyengir selebar gigi yang ada di mulut keliatan semua, hehe.. bagaimana nggak? kolam renang seluas itu hampir tertutup setengahnya oleh kerumunan manusia! nggak bapak-bapak, ibu-ibu, apalagi anak-anak kecil udah kayak cendol yang lagi mengapung-apung kegirangan sedang bermain air! ditambah harga tiket masuk yang melonjak hampir 2x lipat karena sedang masa liburan anak sekolah! baiklaaah.. -_-" *krik.. krik.. krik*

beruntung selain di Waterbom, Sabda Alam juga memiliki kolam renang lain yang berada di dalam hotel. meskipun sebenernya diperuntukan untuk tamu hotel, tapi kolam renang tersebut juga dibuka untuk umum. jadilah saat itu kami putuskan nanti malam untuk berenang di kolam renang dalam hotel, setelah sebelumnya kami harus mencari penginapan dulu untuk tidur semalam.

besok paginya, agenda kami adalah pergi ke Gunung Papandayan. perjalanan ke Papandayan ditempuh sekitar satu jam dari pusat kota Garut. setelah naik angkot dari Cipanas ke Pertigaan Tarogong, dilanjut naik elf menuju Desa Cisurupan. sampai di Desa Cisurupan, kami langsung jadi rebutan para tukang ojek yang menawarkan jasa mengantarkan sampai ke Parkiran Papandayan. tapi tarifnya ya buuu.. Rp 20.000 ajaaa satu orang!? *muahal gileee!*

berdasarkan cerita dari Mas Dwie (rekan backpacker saya yang sebelumnya pernah ke Garut) kalo dari Desa Cisurupan ke Parkiran Papandayan bisa naik mobil bak terbuka, semacem 'pick up' gitu yang biasa digunakan penduduk setempat buat ngangkut sayuran. dengan bekal informasi tersebut, kami pun memutuskan untuk jalan kaki dulu beberapa meter sambil menunggu siapa tau ada 'pick up' yang lewat. selang beberapa ratus meter, setelah menolak beberapa tukang ojeg yang masih juga terus-terusan nguber-nguber kami buat naek ojeg, kami pun menumpang 'pick up' yang lewat tersebut. dan disinilah kejadian ’menghebohkan’ itu dimulai.

saya "pak, mau ke atas kan? boleh numpang yah? hehe.." *merayu*

bapak sopir "oh iya, silahkan.."

tanpa pikir panjang kami pun segera naik ke 'pick up'. Tiwi dan Mayang langsung menyiapkan 'kacamata hitam' nya, sedangkan Gama sudah siap menjadi 'juru foto' dengan kamera 'blackberry' yang dimilikinya. jujur, waktu itu diantara kami memang nggak ada yang bawa kamera digital, jadilah asas 'tak ada rotan akar pun jadi' berlaku, apalagi untuk mengakomodasi jiwa 'narsisme' anak-anak HI seperti kami, hehehe.. dan mulailah kami bernarsis-narsis ria! =P

selang beberapa lama perjalanan, tanpa sadar sebenernya kami telah menjadi tontonan warga sekitar. bayangkan! dua orang cewek berjilbab dengan 'kacamata hitam' bersama dua orang cowok, lagi foto-foto nggak jelas di atas mobil bak terbuka, melewati perkampungan penduduk yang saat itu lagi sibuk-sibuknya menjalankan aktivitas di pagi hari. sampai akhirnya ada suara ribut-ribut.

suara ribut "ssst.. ada bule! ada bule!"

*kami masih belom sadar*

suara ribut "ada bulee!! ada buleee!!!"

seketika kami bengong, menatap sekeliling. ternyata orang-orang memang sedang memperhatikan kami! sambil sesekali ketawa, mereka berbisik-bisik (entah apa yang lagi diomongin) dan makin kagetlah kami saat ada segerombolan anak kecil berteriak-teriak sambil menunjuk ke arah Gama "ada buleee!! ada buleee!!"

HUAHAHAHAHAHAHA!! seketika tawa kami berempat pecah! ternyata Gama dikira bule sama orang-orang sekampung! yaoloh.. maklum, meskipun sebenernya nggak ada sama sekali garis keturunan dari luar, perawakan Gama memang sedikit ’blonde’. banyak temen-temen kampus yang menyebutnya ’Bule Rakitan’ atau ada juga yang bilang ’Bule Depok!’ karena Gama memang tinggal di Depok! wkwkwkwk.. =D

kejadian unik soal 'bule' lainnya terjadi saat kami berada di Kawah Papandayan. setelah capek keliling-keliling, kami istirahat di sebuah tumpukan batu sambil menikmati suasana kawah. diantara kami berempat, cuma Tiwi yang nggak ikut keliling, katanya semangatnya udah abis! dan jadilah dia cuma duduk aja dari tadi di tempat itu sambil nungguin tas saya, Mayang dan Gama.

saat niat mau pulang, tiba-tiba ada seorang 'guide' yang mengajak kami untuk ikut gabung bareng rombongan Bule Belanda yang sedang dia bawa. 'guide' itu mengajak kami untuk ikut berkeliling melihat Danau Kawah yang jarang orang lain kunjungi, daripada cuma bengong nggak jelas duduk-duduk di atas tumpukan batu.

melihat ada 2 cowok bule bersamanya, seketika tanpa pikir panjang Tiwi yang langsung mengiyakan. dan entah kenapa, kayak orang abis minum 'cairan isotonik' dia jadi bersemangat lagi! sepanjang perjalanan, Tiwi yang jalan paling bersemangat! berada di barisan terdepan di belakang bule. sedangkan saya, Mayang dan Gama kemudian mengikutinya di barisan paling belakang. *emang dah dasar Tiwi!* -_-" ckckck..

sejak dulu, Tiwi memang dikenal 'terobsesi' sama bule. entah udah ada berapa banyak bule yang dari dulu jadi 'cemceman'nya, tapi sayangnya nggak satupun pernah ada yang berhasil! wkwkwkwk.. *just kidding wi!* entah apaaa yang menjadi daya tarik bule sampe-sampe Tiwi, bahkan orang sekampung heboh kalo ngeliatnya? yah mungkin karena emang secara fisik 'mencolok' kali yah? beda sama orang kita kebanyakan. rata-rata bule (apalagi cowok) mau sejelek apapun, pasti teteup aja dibilang cakep! asal jangan Gama aja yang dibilang cakep! *nggak terima gue* huahahahaha.. =P

Thursday, July 15, 2010

Metamorph Part 2

Jakarta cerah pagi itu, tapi badan saya terasa masih capek banget setelah Selasa malam sebelumnya saya baru sampai di rumah. nggak kayak di kontrakan, dimana saya bisa bebas bangun siang tanpa ada yang mengingatkan, di rumah saya memang harus selalu bangun pagi. biasanya nyokap yang selalu membangunkan, menepok-nepok kaki saya sambil berucap ”ricco bangun, udah siang.. nanti tidurnya dilanjut lagi, bapak mau berangkat kantor..”

saya nggak tau kalo pagi itu bokap ada di rumah, karena udah dua malam sebelumnya nyokap bilang bokap nggak pulang ke rumah. seperti biasanya, bokap emang sering ke luar kota, kerja lembur cari tambahan buat biaya saya kuliah katanya. sebenernya bokap kerja di salah satu kantor pemerintahan, sejak 14 tahun lebih beliau merintis karir dan karena ’idealisme’nya bokap tetep nggak mau jadi PNS meskipun sering dapat tawaran. bokap lebih memilih jadi pegawai kontrak, karena selain katanya nggak mau jadi ’beban negara’ juga biar bisa nyari sambilan lain di luar. yup! bokap biasa jadi semacam ’personal EO’ untuk kegiatan meeting kantor di luar kota.

pantang bagi saya memang masih tidur kalo bokap mau pergi ke kantor. nyokap yang selalu ngingetin setidaknya kalo saya bangun pagi dan nyalamin bokap yang mau ke kantor, adalah bentuk penghargaan saya terhadap kerja keras beliau. jadi bisa ngasih semacam ’semangat’ gitu buat bokap! hehe..

grasak-grusuk dengan mata yang masih sayu, saya pun langsung bergegas ke kamar mandi. rencana saya hari itu emang mau ke perpus kantor bokap buat nyari bahan skripsi, kebetulan ternyata bokap udah pulang jadi saya bisa berangkat bareng. setelah mandi dan berpakaian, kami sarapan. satu hal yang menyamakan bokap dan nyokap kalo ngobrol dengan saya yaitu mereka berdua memang jarang menanyakan soal urusan kuliah kecuali kalo saya yang cerita duluan. saya maklumi hal itu karena sejak kecil bokap selalu bilang ”bapak sama mamah selalu percaya sama kamu, apapun itu selama bermanfaat dan baik buat kamu ya lakukan.. yang penting kamu bisa mempertanggungjawabkan semua yang kamu lakukan itu..”

saya memang lebih aktif dalam pembicaraan, biasanya saya yang mulai percakapan dengan cerita soal rutinitas kampus, gosip kampus sampai kegiatan saya sehari-hari selama di Jatinangor. selanjutnya, bokap merespon dengan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang terkadang justru berujung jadi sebuah diskusi. salah satu hal dalam keluarga yang saya sukai yaitu menanamkan nilai-nilai ‘demokrasi’ sejak kecil, meskipun terkadang harus ’dipancing’ dulu, hehehe..

setelah ngobrol ngalor ngidul, kami berangkat. jujur, sebenernya saya nggak terlalu deket sama bokap, saya lebih sering ’curhat’ sama nyokap. obrolan sama bokap biasanya nggak lebih dari urusan pendidikan dan masa depan. makanya terkadang sering terjadi miss komunikasi diantara kami kalo sedang bicara diluar urusan itu.

tidak seperti biasanya, hari ini bokap nggak bawa motor, motornya di tinggal di kantor karena emang kalo lembur ke luar kota bokap selalu berangkat langsung dari kantor, dan motor dititipkan ke petugas parkiran kantor. kami naik taxi dari Rawa Belong sampai kantor bokap di bilangan Kebon Nanas-Cawang, di dalam taxi kami pun melanjutkan obrolan. bagi saya, situasi saat itu terasa sangat spesial. pagi hari, sepanjang jalan melintasi Jalan Gatot Soebroto yang saat itu ramai lancar, duduk sebelahan sama bokap, sambil membicarakan rencana masa depan. sangat jarang sekali terjadi.

saya ”pah, kalo misalkan nanti ricco kerja di luar kota gimana yah? pengen deh kerja di luar kota, abis sumpek banget kalo di Jakarta, tiap hari macet! bisa-bisa tua di jalan! hmm.. tapi kalo misalnya nggak di Jakarta juga takutnya malah nggak bisa berkembang, kan kayaknya semua ada di sini, hehe.. jadi bigung..”

bokap ”kamu ini, jangan gantungkan hidup di Jakarta.. Jakarta itu keras! ya kalau memang kamu bisa kerja di luar kota, bagus.. siapa bilang orang cuma bisa berkembang kalo di Jakarta?”

saya *sambil mengangguk* ”iya sih..”

bokap ”kalo bisa malah kamu jangan mencari pekerjaan, tapi ciptakan lapangan pekerjaan.. jangan jadi beban negara, tapi bantu negara..”

saya *krik.. krik.. krik..* (dalem hati: ”jiah mulai lagi deh bokap dengan idealismenya”) ”yaaa.. ricco sih juga pengennya gitu, tapi buat mulai suatu usaha kan juga butuh modal, jadi mau nggak mau harus cari kerja dulu lah buat ngumpulin modal..”

bokap ”emang kamu udah punya rencana kerja apa?”

saya ”pengennya sih kerja yang sesuai hobi, ricco kan suka jalan-jalan ya enak tuh kalo bisa kerja sambil jalan-jalan, biar bawaannya seneng dan semangat terus! hehehe.. jadi wartawan kayaknya seru, atau di EO gitu mungkin? yang penting nggak melulu berangkat pagi pulang malem sama duduk di depan komputer lah, bosen!”

bokap ”bagus itu, setidaknya kamu udah punya gambaran nanti mau gimana dan kemana..”

saya ”amieeen! pengennya juga sih nanti kalo misal udah ada modal mau ngembangin Warung Bakso mama, biar bisa dibikin ’franchise’ ato restoran gitu, hehe.. tapi apa nyoba di bank juga aja yah? peluangnya gede, gajinya juga lumayan.. tapi bisa kena denda kalo misalkan di tengah jalan resign, padahal misal nanti ada tawaran kerja lain yang lebih oke, hmm..”

bokap *senyum miris* ”kamu itu.. yaiyalah, di bank itu kan kamu disekolahin, mereka itu investasi, masa udah capek-capek tapi ilmunya malah dipake buat orang lain? sama kayak kamu, semua orang tua nyekolahin anaknya juga investasi, kalo udah pinter bukannya ngebahagiain orang tua, kebangetan namannya..”

jebbb!! dalem, nusuk tapi penuh makna. yup! lagi-lagi saya diingatkan. meskipun agak sedikit ’nylekit’, saya mencoba untuk nggak menganggap kata-kata bokap (maupun nyokap sebelumnya) itu sebagai ’tuntutan’. saya menyadari betul posisi saya sebagai anak lelaki pertama, yang nantinya memang akan menggantikan posisi beliau sebagai kepala keluarga. makanya, jujur baik bokap maupun nyokap memang kurang tertarik bahkan jarang bertanya ke saya soal ’pacar’ dan urusan percintaan lainnya. satu hal (mungkin) ’negatif’ yang saya tangkap dari nasehat mereka, yaitu adanya rasa ’takut’ kalo nanti saya keburu menikah sebelum sempat membahagiakan mereka. hal yang menurut saya wajar, dan memang saya anggap sebagai bentuk tanggung jawab.

sejak dua percakapan itu, mulai sekarang saya benar-benar bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk mereka. semua nasehat yang mereka berikan, entah kenapa jadi seperti ’teguran’ kepada saya yang belakangan ini memang mulai kendur semangatnya khususnya untuk mencapai target lulus bulan november. sebuah perubahan, meskipun kecil, adalah awal dari sesuatu yang besar. seperti ’matamorphosis’ dari ulat menjadi kupu-kupu, sesuatu yang mungkin awalnya terlihat kacau, jelek dan buruk pasti akan indah pada waktunya.

ini adalah saatnya saya harus memulai semangat baru. perubahan kecil, diawali dengan merubah pola pikir saya untuk tidak lagi berpasrah pada keadaan, harus segera saya lakukan. dengan kembalinya saya menulis, dalam blog ini, saya berharap semoga semangat saya yang mulai tumbuh itu juga bisa dirasakan oleh teman-teman yang lain (yang membaca). paling tidak, jika nanti semangat itu mulai kendur, bagi saya blog ini adalah salah satu cara yang mungkin efektif sebagai alat untuk mengingatkan.

SEMANGAT!! YAKIN PASTI BISA!! :D

Metamorph Part 1

senin tiga hari yang lalu sekitar jam 10 malam tiba-tiba nyokap telpon. seperti biasanya, nyokap selalu telpon di atas jam 9 malam. maklum, jam segitu beliau baru pulang dari Warung Bakso yang memang tutup sekitar jam 9 malam. jadwal nyokap nelpon nggak tentu, kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali, bahkan pernah juga sebulan sekali! hehe..

sebagai seorang ibu, wajar adanya menanyakan kabar anak. apalagi kalo anaknya berada jauh dari orang tua, seperti saya yang kuliah di Jatinangor sementara rumah di Jakarta. walaupun kadang pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan ’standar’, dan cuma itu-itu aja. tapi bagi beliau, jawaban-jawaban yang saya berikan tentu terasa ’spesial’. spesial karena paling nggak udah sedikit ngobatin rasa rindunya sama saya, saya sadari benar itu.

satu hal yang sedikit membedakan percakapan kami malam itu adalah ketika nyokap bertanya ”ricco, kira-kira kapan kamu lulus?” hmm..

bagi sebagian besar mahasiswa tingkat akhir, pertanyaan ”kapan lulus?” memang agak sensitif. terlebih bagi saya, karena nyokap sangat jarang sekali bertanya soal urusan kuliah. sesekali nyokap dulu pernah bilang ”yang penting kamu kuliah yang bener, belajar yang pinter, lulus, dan nanti kalo udah kerja jangan lupa bahagiain orang tua dulu, baru nikah..” selebihnya? nyokap nggak pernah tanya soal nilai, IPK apalagi skripsi kalo memang bukan saya yang cerita, bahkan berapa bayaran uang semester kuliah saya pun nyokap sering lupa.

awalnya agak bete juga sih ditanya kayak gitu, saya bilang ”pengennya ya lulus bulan november mah, tapi tau dah agak kurang yakin juga.. abis dosennya susah banget ditemuin! sekalinya ketemu eh skripsinya disuruh revisi lagi, revisi lagi.. mana katanya kalo dibimbing sama dosen bimbingan ricco ini emang bakal lama lulusnya..”

nyokap ngomong ”owh ya udah, iya yang penting kamu ngerjainnya yang bener.. kalo bisa dosennya dirayu, bilang aja orang tua kamu pengen cepet liat anaknya di wisuda, jadi sarjana..” *krik.. krik.. krik..*

nyokap lanjut bilang ”hmm.. abis gimana yah, bukan maksud mama apa, tapi tetangga banyak banget yang nanyain soal kamu.. temen-temen main kamu waktu kecil, anak tetangga depan rumah, semua udah pada lulus, sekarang udah mau kerja.. yah dalem hati sih mamah jadi pengen liat kamu kayak gitu, bosen juga jawab pertanyaan orang kapan kamu lulus? hehe.. kan mamah jadinya kepikiran, iya yah kok anak saya belom lulus? padahal kan kamu masuk kuliahnya juga bareng sama mereka..”

yup! jadilah seketika malam itu perasaan saya campur aduk! antara kesel, sedih, sekaligus bingung. mau gimana lagi coba!? tanya deh, sebagian besar temen kuliah pun saya yakin siapa sih yang nggak pengen cepet lulus!? tapi keadaan (baca: revisi dan dosen yang susah ditemuin) emang kayak gitu, yang kadang justru malah bikin tadinya semangat jadi males-malesan, bener nggak!? *cari pembelaan* hehe..

saya sempat berujar ”yaudah sih mah, nggak usah juga dipikirin omongan orang, yang penting mamah kan tau ricco gimana..”

nyokap ”iya, mamah percaya..”

malam itu saya benar-benar drop, bukan hanya karena pertanyaan nyokap tentang kapan saya lulus, tapi karena nyokap juga bercerita lebih jauh tentang keadaan rumah. saya tidak mau bercerita panjang lebar soal hal tersebut, karena bagi saya problematika keluarga adalah urusan private dan bukan untuk konsumsi umum (hehehe.. maap yah!).

percakapan malam itu berlangsung cukup lama, terlebih soal ’curhatan’ nyokap yang pada akhirnya membuat saya untuk tidak lagi memperpanjang kontrakan rumah di Jatinangor, dan memilih pulang-pergi Jakarta-Jatinangor. kebetulan mulai semester ini saya memang udah nggak ada kuliah, tinggal bimbingan aja dan itu pun seminggu sekali setiap hari Selasa. selama setahun terakhir saya dan teman saya Alex memang ngontrak rumah, masa sewa kami akan habis akhir bulan ini dan wacana untuk tidak memperpanjang kontrakan memang sempat kami bicarakan.

akhir pembicaraan, nyokap sempat berucap sebelum menutup telponnya ”selamat ulang tahun yah ricco, maap mama telat.. ingat kamu sudah 22 tahun, semoga semakin dewasa..”

satu kalimat penuh makna, yang seketika benar-benar terasa menampar dan menyadarkan saya mulai saat itu bahwa bukan saatnya lagi saya masih menjadi beban orang tua. memang sudah saatnya saya mengabdikan diri dan membalas jasa-jasa mereka. paling tidak, diawali dengan serius menyelesaikan apa yang menjadi kewajiban saya sebagai mahasiswa tingkat akhir, yaitu menyelesaikan skripsi tepat waktu. mungkin memang tetap akan ada banyak kendala, tapi semangat itu tidak boleh padam! seperti yang saya rasakan belakangan ini.

maap yah mah, dan terima kasih udah meningatkan ricco.. :)

PS: maap buat Alex, kalo pagi itu pas loe mau beragkat ke kampus tiba-tiba gue ngasih kabar ngedadak nggak lanjutin ngontrak rumah. padahal gue tau banget hari itu loe mau sidang kolokium, hehe.. sory ya bro! you know, siangnya gue emang harus balik ke Jakarta, jadi takut nggak sempet ngomong lagi, thanks..